
Di tengah tantangan iklim dan keanekaragaman hayati, kolaborasi tak bisa ditawar lagi. Isu global ini mendesak dan membutuhkan kerja sama dari seluruh pihak, bukan hanya menjadi pekerjaan rumah bagi lembaga lingkungan melainkan juga korporasi.
Berangkat dari kesadaran terkait isu keberlanjutan dan penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG), Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) bersama Ananta Fund menyelenggarakan Corporate Gathering 2025 bertajuk “ESG dan Keanekaragaman Hayati Indonesia,” yang bertujuan membangun kesamaan pemahaman dengan mitra korporasi untuk mengarahkan program ESG menjadi instrumen strategis yang berdampak jangka panjang.

Pertemuan yang dilaksanakan pada 4 Desember 2025 di La Moringa Jakarta ini dihadiri lebih dari 50 perwakilan korporasi, menjadi ruang dialog untuk berbagi pengalaman dan membangun visi bersama demi melahirkan kolaborasi baru yang inklusif dan berkesinambungan, karena tak bisa ditampik jika selama ini banyak program yang hanya bersifat jangka pendek, padahal tantangan lingkungan di Indonesia menuntut komitmen strategis.
Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, Riki Frindos, menyebut adanya pergeseran paradigma dalam dunia korporasi. Kini korporasi tidak lagi semata-mata diukur dari kinerja finansial, tetapi juga dari kontribusinya terhadap aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan yang baik (ESG).
“Tantangan lingkungan hidup nasional kita semakin kompleks, mulai dari deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan dan energi,” ujarnya. Ia menekankan saat ini upaya konservasi tidak dapat hanya ditopang oleh pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, melainkan membutuhkan dukungan nyata dan kolaborasi jangka panjang dengan sektor swasta.
Dalam kegiatan ini, Direktur Program Yayasan KEHATI, Rony Megawanto juga memaparkan profil Yayasan KEHATI serta pendekatan strategis lembaga dalam mengelola dana hibah lingkungan sejak 1994. Ia menjelaskan visi KEHATI untuk mewujudkan alam yang lestari bagi manusia kini dan masa depan anak negeri melalui solusi berbasis alam (Nature Based Solutions).
Kisah Sukses dari Tapak
Puncak acara ini merupakan sesi talkshow yang dipandu oleh moderator Prita Laura dengan menghadirkan mitra-mitra lapangan Yayasan KEHATI:
Ekosistem Kelautan → Memulihkan Jantung Bahari Makassar: Imran Lapong (Yayasan Kitaji Pinisi Indonesia) berbagi kisah dari Kepulauan Spermonde khususnya Pulau Barrang Caddi dan Barrang Lompo. Kitaji Pinisi menggerakkan konservasi partisipatif melalui rehabilitasi terumbu karang dengan metode Coral Tree Nursery (CTN) dan perlindungan penyu, juga menjalankan program edukasi Sekolah Cinta Pulau (SEKOCI) bagi anak-anak pulau. Program ini juga berhasil mengintegrasikan konservasi dengan ekonomi melalui uji coba budidaya Caulerpa spp. (lawilawi) sebagai sumber pangan dan pendapatan alternatif masyarakat pesisir.
Ekosistem Pertanian → Revitalisasi Pangan Lokal Sumba: Roswita Asti Kulla (English Goes to Kampung) menceritakan perjuangan di Sumba, Nusa Tenggara Timur dalam memberdayakan petani melalui pertanian berbasis kearifan lokal. Fokus utamanya adalah mengembalikan kejayaan pangan lokal seperti sorgum dan umbi-umbian yang tahan iklim kering, serta menginisiasi gerakan “Chef Goes to Kampung” untuk mempopulerkan kuliner lokal. Upaya ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga mengangkat peran perempuan Sumba dari kebun hingga ke pasar.
Ekosistem Kehutanan dan Perkotaan → Menghijaukan Beton Bandung: Reza Prima (Yayasan Pilar Tunas Nusa Lestari) memaparkan solusi inovatif Urban Biodiversity di tengah padatnya Kota Bandung. Ia menggerakkan warga untuk memanfaatkan ruang sempit seperti atap Rumah Deret Tamansari menjadi kebun produktif (rooftop farming) dan merevitalisasi ekosistem Kolam Retensi Rancabolang. Inisiatif ini berhasil menciptakan koridor hijau yang melindungi habitat spesies lokal seperti Burung Blekok sekaligus membangun kohesi sosial warga melalui aktivitas berkebun bersama.
Ananta Fund → Kemandirian Perempuan Penyintas: Dian Dianiati (Kartini Manakarra) berbagi kisah inspiratif dari Mamuju, Sulawesi Barat, mengenai pendampingan bagi perempuan dan penyintas kekerasan. Dengan dukungan Ananta Fund, organisasinya memperkuat tata kelola kelembagaan dan mengembangkan unit bisnis inkubasi yang memproduksi produk lokal seperti Kopi Mamasa, Cokelat Jahe, dan Tenun Lipa’ Sa’be. Pendekatan ini terbukti efektif memberikan kemandirian ekonomi bagi para perempuan penyintas sekaligus memastikan keberlanjutan organisasi mereka.

Para mitra di tingkat tapak berharap kolaborasi ini dapat terus berlanjut, karena terbukti memberikan dampak positif tidak hanya bagi pelestarian alam, tetapi juga kemandirian sosial dan ekonomi masyarakat lokal.
Corporate Gathering turut dihadiri oleh Direktur Keuangan dan Administrasi, Indra Gunawan; Direktur Komunikasi dan Kemitraan, Rika Anggraini; Direktur Program TFCA Sumatera, Samedi; dan Direktur Program TFCA Kalimantan, Puspa Dewi Liman.